MEMBANGUN
MANUSIA MODERN YANG RAMAH LINGKUNGAN
Karya Tulis Ini Disusun
Untuk Mengikuti Lomba Karya Tulis
Ilmiah
(LKTI) Tingkat Mahasiswa STAIN
Kediri
Disusun Oleh:
ILMA
KHUSNITA ( 9336 104 13 )
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
(STAIN
KEDIRI)
2015
A.
IDENTIFIKASI
MASALAH
Tragedi
lingkungan (Common Tragedi) pada sepanjang sejarah sering terjadi dan sangat
memprihatinan. Di tv, radio, dan media informasi lainnya tak jarang kita
mendengar isu tentang krisis lingkungan. Bahkan di sekitar kita pun kita sering
melihat sendiri kekacauan-kekacauan lingkungan hidup. Baru-baru ini terjadi
kebakaran di hutan Riau yang sampai saat ini dampaknya masih sangat terasa bagi
kita, tak hanya masyarakat dalam negeri saja, tapi negara-negara tetangga pun juga
merasakan dampak dari kebakaran tersebut.
Alfred
Diamond menganalisis terjadinya kegagalan pengelolaan lingkungan dan
meningkatnya masalah kesehatan lingkungan akibat lemahnya mencermati fenomena
alam dalam memfasilitasi manusia sebagai khalifah di muka bumi,[1]
sehingga tak terhidarkan bencana banjir dan longsor di berbagai wilayah di
Indonesia khususnya, luapan lumpur lapindo di Sidoarjo, kebakaran-kebakaran
hutan, dan pemanasan iklim global sebagai akibat kegagalan manusia untuk
berlaku bijak pada lingkungan. Idealnya, manusia sebagai khalifah di muka bumi
harus menjaga dan memelihara alam untuk dirinya sendiri dan generasi
setelahnya. Bukan malah mengeksploitasi alam secara besar-besaran dan tanpa
tanggung jawab.
Persoalan
lingkungan yang terjadi di bumi kita ini, tak lain merupakan hasil dari ulah
tangan manusia sendiri. Kerusakan alam ini, menurut bapak Quraish Shihab,
bermula saat manusia memasuki sebuah era yang mereka sebut sebagai zaman
modern. Berbekal kemampuan akal, manusia bisa menciptakan mesin-mesin yang
mampu mengeruk dan mengelola kekayaan alam. Semakin canggih teknologi yang
ditemukan, semakin leluasa pula manusia memanfaatkan sumber daya alam untuk
keperluan dan kemudahan dalam hidupnya. Namun disatu sisi, selain dapat
memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia, ternyata teknologi yang
canggih juga malah menimbulkan masalah-masalah baru termasuk masalah krisis
lingkungan. Mengapa demikian?
Berangkat dari identifikasi masalah tersebut,
penulis ingin menulis karya ilmiah dengan judul Membangun Manusia Modern yang Ramah Lingkungan. Dengan rumusan
masalah sebagai berikut :
- Bagaimana kondisi manusia modern dewasa ini ?
- Bagaimana membangun manusia modern yang ramah lingkungan ?
B.
ANALISIS
PERMASALAHAN
Kondisi
Manusia modern
Kemajuan yang dialami
oleh dunia Islam ternyata mempunyai daya tarik bagi orang-orang Eropa (atau
Barat pada umumnya, yang masih mengalami masa kegelapan dan kemunduran) untuk
berguru pada Islam. Kontak yang terjadi antara dunia Eropa dan dunia Islam,
pada lima abad berikutnya, ternyata mampu mengantarkan Eropa melalui ide-ide
“Kebangkitan Kembali” (Renaisance), reformasi, revolusi ilmu
pengetahuan, “pencerahan” (enlightment), dan rasionalisme untuk memasuki
babak sejarah yang benar-benar baru, yaitu abad modern.[2]
Ke-modern-an
yang telah dicapai bangsa Barat telah mengantarkan kita semua, khususnya bangsa
Barat sendiri, kepada zaman globalisasi.[3]
Fenomena globalisasi yang muncul sebagai akibat dari kemajuan teknologi
komunikasi yang tumbuh sedemikian pesat, yang disertai oleh meningkatnya
transmisi ilmu pengetahuan dan informasi telah merubah pemikiran kita, bola
bumi yang selama ini kita anggap besar telah mengecil; sekat-sekat ras, etnik,
agama, dan sebagainya secara tak sengaja telah tertembus oleh produk teknologi
komunikasi. Kehidupan manusia dalam planet bumi yang sebelumnya masih
terkotak-kotak dalam wilayah benua-benua, sekarang ini telah laksana sekumpulan
orang dalam sebuah kapal besar, yang satu dapat secara leluasa berkomunikasi
dengan yang lain.[4]
Namun,
proses modernisasi yang dijalankan oleh dunia Barat sejak zaman renaissans, di
samping membawa dampak positif, juga telah menimbulkan dampak negatif. Dampak
positifnya, modernisasi telah membawa kemudahan-kemudahan dalam kehidupan
manusia, sementara dampak negatifnya, modernisasi telah menimbulkan krisis
makna hidup, kehampaan spiritual dan tersingkirnya agama dalam kehidupan
manusia.[5]
Hal ini terjadi karena manusia modern mencoba untuk memisahkan antara ilmu
pengetahuan dengan agama. Kemajuan-kemajuan yang terjadi pada manusia modern
dalam mengolah sumber daya alam tidak di
imbangi dengan spiritualitas yang tinggi pula, akibat adanya pemisahan antara
ilmu pengetahuan dengan agama.
Manusia modern telah mengalami (atau
malah menderita) ekses. Ekses itu adalah akibat dari dominasi ilmu dan
teknologi yang, menurut Ashadi Siregar, hanya mampu menghasilkan
teknokrat-teknokrat tanpa perasaan.[6]
Sebagaimana halnya dengan mesin yang tanpa perasaan, manusia modern
mengeksploitasi alam semaksimal mungkin tanpa memikirkan akibat dari
perbuatannya itu. Mereka tetap menuruti keinginan-keinginan nafsunya, tanpa ada
rambu-rambu lagi baginya, sehingga terjadilah krisis lingkungan.
Mereka memperlakukan alam sama dengan
pelacur, menikmati dan mengeksploitasi kepuasan
darinya tanpa rasa tanggung jawab apapun. Alam dipandang tak lebih dari sekedar
objek dan sumber daya yang perlu dimanfaatkan dan dieksploitasi semaksimal
mungkin.[7]Dalam
upaya mencapai kesejahteraannya, manusia modern mencoba untuk memenuhi setiap
keinginan-keinginannya, ia akan menciptakan apa saja yang dapat membuat
hidupnya semakin mudah dan efektif. Teknologi-teknologi yang mereka kembangkan
tidak lain hanya untuk keperluan mereka sendiri. Terlepas dari pemikiran
tentang dampak yang akan ditimbulkan oleh perbuatannya itu.
Manusia modern menganggap bahwa alam
adalah barang yang bisa dimanfaatkan sesuka hati. Hal ini diperparah dengan
sikap tamak dan serakah yang melekat pada diri manusia. Ketamakan dan
keserakahan ini, mendapatkan wahana pelampiasannya dengan kemajuan teknologi di
segala bidang. Kekayaan alam dikeruk untuk memuaskan nafsu keserakahan, tanpa
mempertimbangkan kelanjutan di masa yang akan datang.[8]
Menurut Nasr,[9]
krisis lingkungan muncul lantaran penolakan manusia untuk melihat Tuhan sebagai
“Lingkungan” yang sesungguhnya, yang mengelilingi sekaligus menyamai kehidupan
mereka. Pengrusakan lingkungan disebabkan oleh upaya manusia modern untuk
memandang lingkungan alam sebagai tatanan realitas yang secara ontologis
berdiri sendiri dan dipisahkan dari lingkungan yang Ilahi.[10]
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang di kembangkan oleh manusia modern saat ini,
di dasarkan pada dominasi dan penjajahan atas alam, yang memandang alam sebagai
musuh manusia, dan yang terus memperkosa dan terus menghancurkan lingkungan.
Sehingga lingkungan kita yang dulunya ramah, kini berubah menjadi sumber
bencana ketika sudah tak sanggup lagi mengemban fungsinya.
Nasr juga mengatakan
bahwa, peradaban modern yang telah berkembang adalah sebuah eksperimen yang
telah mengalami kegagalan sedemikian parahnya, sehingga umat manusia menjadi
ragu apakah dapat menemukan cara-cara lain di masa yang akan datang. Manusia
modern telah memberontak melawan Tuhan, mereka telah menciptakan sebuah sains
yang tidak berlandaskan cahaya intellect (jadi berbeda dengan yang kita
saksikan di dalam sains-sains Islam tradisional), tetapi berdasarkan kekuatan
akal (rasio) manusia semata untuk memperoleh data melalui indera. Sehingga
peradaban modern hanya ditegakkan di atas landasan konsep mengenai manusia yang
tidak menyertakan hal yang paling esensial dari manusia itu sendiri. dengan
perangkat yang serba mekanis dan otomat, bukannya semakin mendekati kebahagiaan
hidup, melainkan sebaliknya kian dihinggapi rasa cemas justru akibat kemewahan
hidup yang di raihnya. Mereka telah menjadi pemuja ilmu dan teknologi dan
semakin melupakan dimensi transenden mereka.
Manusia modern merasa
cukup dengan perangkat ilmu dan teknologi yang telah mereka miliki, sehingga
ajaran wahyu-pun kian di tinggalkan. Mereka telah memasuki fase paham
sekularisme. Sekularisasi, meminjam penjelasan Peter L. Berger, dapat dibedakan
menjadi dua bentuk; dalam arti pemisahan institusi agama dan politik dan yang
lebih penting dalam konteks keagamaan, yaitu “adanya proses-proses penerapan
dalam pikiran manusia berupa sekularisasi kesadaran”. Diperjelas oleh Harvey
Cox tentang makna sekularisasi, yaitu: “terbebasnya manusia dari kontrol
ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama”. Lebih lanjut katanya,
sekularisasi terjadi ketika manusia berpaling dari “dunia sana” dan hanya
memusatkan perhatiannya pada “dunia sini dan sekarang”.[11]
Sekularisasi Cox, “memisahkan alam dari Tuhan dan membedakan manusia dengan
alam.” Dengan demikian, alam dilepaskan dari pesona Ilahinya dan dapat dilihat
sebagai barang biasa. Hilangnya pesona Ilahi dari alam ini disebut sebagai
“kondisi mutlak bagi perkembangan ilmu-ilmu alam” dan “membuat alam tersedia
untuk digunakan.”
Nasr juga menuliskan bahwa:
“Masalah penghancuran lingkungan oleh
teknologi, krisis ekologi dan semacamnya semuanya bersumber dari penyakit amnesis atau pelupa yang diidap oleh
manusia modern. Mereka telah lupa, siapakah ia sesungguhnya. Karena manusia
modern hidup di pinggir lingkaran eksistensinya; ia hanya mampu memperoleh
pengetahuan tentang dunia yang secara kualitatif bersifat dangkal dan secara
kuantitatif berubah-ubah. Dari pengetahuan yang hanya bersifat eksternal ini,
selanjutnya ia berusaha merekonstruksi citra dirinya. Dengan begitu, manusia
modern semakin jauh dari pusat eksistensi, dan semakin terperosok dalam jeratan
pinggir eksistensi.”
Kegagalan
pengelolaan lingkungan juga terjadi akibat kemiskinan dan akibat cara
berpandangan yang sempit yang sering kita gunakan dalam mengejar kesejahteraan.
Banyak bagian dunia yang terperangkap dalam spiral menurun yang kejam; rakyat
miskin terpaksa menggunakan sumber daya lingkungan secara berlebihan demi
kelangsungan hidupnya dari hari ke hari, dan pemiskinan lingkungan hidup mereka
itu memiskinkan mereka lebih jauh, membuat kelangsungan hidup mereka lebih sulit
dan semakin tidak pasti. Kesejahteraan yang diperoleh sebagian dunia acap kali
genting, karena diperoleh melalui praktik pertanian, industri, kehutanan, dan
pertambangan yang menghasilkan keuntungan dan kemajuan hanya jangka pendek.[12]
Bukti
Konkret
Bencana-bencana
yang selalu datang dan melanda bumi kita inilah yang merupakan perwujudan
konkret dari adanya krisis lingkungan akibat dari ulah tangan kita sendiri.
Pembangunan yang berlebihan dan kurangnya kesadaran akan analisis dampak
lingkungan inilah yang menyebabkan kerusakan-kerusakan alam di sekitar kita.
Sekarang ini, kita
telah mengalami bencana teknologi, yaitu bencana yang diakibatkan oleh dampak
negatif dari teknologi yang diaplikasikan oleh manusia untuk menunjang
aktifitasnya. Bencana ini merupakan bencana yang tergolong aktivitas
antropogenik yang timbul dari kesalahan manusianya (human error) atau kegagalan teknologi. Pada prinsipnya aplikasi
teknologi bersifat ambivalen, atau pisau bermata dua, yakni dampak positif yang
mendatangkan kesejahteraan, sehingga menjadi berkah. Di sisi lain dampaknya
adalah negative karena mendatangkan bencana atau musibah yang dapat mengancam
kehidupan.[13]
Diantara dampak negatif itu adalah dampak terhadap lingkungan hidup kita,baik
lingkungan sosial maupun lingkungan fisik. Banyak terjadi bencana-bencana alam
akibat dari kemajuan teknologi maupun eksploitasi alam yang dilakukan oleh
manusia modern, diantaranya yaitu:
- Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur
Peristiwa
yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan gas yang dilakukan oleh sebuah
perusahaan nasional dibidang pertambangan menjadi sejarah kelam dunia
pertambangan yang berdampak pada lingkungan di Indonesia. Hal ini terjadi
karena gas yang dituju, namun lumpur yang nyembur, sebuah malapetaka yang
menimpa lingkungan fisikal dan lingkungan sosialnya. Menurut Andang, semburan
dipicu pengeboran di sumur Banjar Panji 1, dimana pihak lapindo tidak isa
mengelola underground low out
sehingga memicu semburan. Sumur Banjar Panji 1 adalah sumur eksplorasi milik
Lapindo Brantas Inc. saat semburan pertama terjadi pada 29 Mei 2006, Lapindo
telah mengeksplorasinya 80 hari padahal kontrak kerjanya hanya 35 hari. Bencana
ini menimbulkan akibat di mana permukiman penduduk tenggelan, ada sekitar 16
lebih desa yang tenggelam.
- Tragedi Minata di Teluk Minata, Jepang
Sesuai
berita yang dirilis Kompas, 8 April
2009, antara tahun 1932-1986, Chiso
corporation produsen pupuk kimia, pengguna karbit, produsen petrokimia dan
plastik, diperkirakan membuang metil merkuri ke Teluk Minamata sebanyak 27 ton,
sehingga kawasan Teluk Minamata mengalami sejarah kelam. Nama Minamata identik
denganpenyakit perusak system saraf pusat akibat kandungan metil merkuri di
dalam tubuh manusia yang masuk melalui ikan yang ditangkap untuk dikonsumsi.
- Bencana Chernobyl di Rusia
Bencana
Chernobyl, adalah bencana yang
ditimbulkan oleh meledaknya reaktor nuklir pada Pembangkit Listrik Tenaga
Nuklir (PLTN) di Ukraina, Rusia (dahulu Uni Soviet). Bencana ini merupakan
bencana nuklir terburuk di dunia yang pernah terjadi. Peristiwa itu terjadi
pukul 01.23 waktu Moskow, pada 26 April 1986, yang mana reaktor nomor empat
dari empat reactor yang dimiliki, meledak.
- Tragedi Teluk Meksiko
Di
lepas pantai Lousiana, pada sumur kilang minyak Deepwater Horizon, teluk meksiko juga terjadi bencana yang
diakibatkan oleh bencana teknologi. Sumur yang bocor adalah MC252, pada titik
kebocoran mulut sumur pada kedalaman 15 km di bawah permukaan laut. Kebocoran
mulai 22 April 2010, setelah terjadi kebakaran dan roboh, minyak yang tumpah 19,7
juta galon sampai 43 juta galon. Dalam perspektif pencemaran lingkungan, laut
yang tercemar adalah lading bagi para nelayan, usaha perikanan laut dan
pariwisata. 200 km pesisir tercemar berat, burung dan biota laut mati, vegetasi
pantai rusak. Berbagai upaya gagal dilakukan untuk mengatasi kebocoran antara
lain: menuangkan cairan kimia (dispersant),
kubah raksasa dari beton seberat 100 ton , menyemprotkan lumpur kental dan
menyemprotkan semen bercampur lumpur sedalam 1,6 km (Kompas, 6 juni 2010).[14]
Dan masih sangat banyak peristiwa bencana alam akibat teknologi manusia modern.
Membangun
Sikap yang Ramah Lingkungan
Secara ekologis,
pelestarian lingkungan merupakan sebuah keniscayaan ekologis yang tidak dapat
ditawar oleh siapapun dan kapanpun.[15]
Sebenarnya kalau kita mau membuka kembali al-Qur’an dan berbagai kitab suci
lainnya, tampak jelas bahwa bencana alam dan krisis lingkungan hidup adalah
akibat dari ulah manusia. Manusia modern telah kehilangan agama (yang menjadi
sebuah pedoman hidup bagi manusia), Menurut ajaran Islam, manusia dalam
mengelola dan memanfaatkan alam harus bersikap arif. Maksudnya mengelola dan
memanfaatkan alam jangan sampai merusak habitat alam. Mengelola alam harus
diiringi dengan usaha-usaha untuk melestarikannya.
Berikut ini diantara kiat-kiat yang
dapat dilakukan untuk mewujudkan manusia modern yang ramah lingkungan:
- Kembali kepada agama yang telah mereka tinggalkan.
Dalam
uraian di atas telah disebutkan bahwa manusia modern telah memisahkan antara
ilmu pengetahuan dengan agama. Namun, justru karena pemisahan itulah yang
menyebabkan manusia modern banyak mengalami kehancuran, termasuk didalamnya
adalah terjadinya krisis lingkungan. Dengan kembali kepada agama manusia akan
memiliki sebuah rambu-rambu dalam kehidupan mereka, tidak bertindak semaunya
sendiri. Begitu juga dalam memperlakukan alam ini, ketika ada
- Mengubah pandangan manusia modern dengan mengikis pandangan antroposentrisme (manusia yang hidup ditengah lingkungan) dan menggantinya dengan pandangan antropocosmis (manusia sebagai bagian dari alam). Semua pihak perlu kiranya menyadari pentingnya menjaga alam dari kerusakan demi kebahagiaan mereka sendiri. Kesadaran akan keterikatan kebahagiaan manusia dengan alam akan menumbuhkan perilaku menjaga dan menghindari setiap usaha untuk merusaknya.
Selain
merubah visi antroposentris menjadi antropocosmis, manusia modern perlu
mengembangkan sebuah teologi lingkungan hidup yang menjadikan alam sebagai
sahabat dan media untuk mengabdi pada Tuhan. Dalam teologi ini, soal pahala dan
dosa tidak hanya diukur dari banyaknya amal ibadah, namun juga berdasar
penghargaan dan disiplin kita dalam memelihara lingkungan.[16]
Dengan
adanya pandangan antropocosmos ini pula kemungkinan manusia merusak alam pun
akan berkurang bahkan tidak akan ada yang mau merusak alam, karena mereka sudah
merasa bersatu dengan alam. Jika manusia berbuat buruk terhadap alam, hal itu
akan kembali pada pada manusia itu sendiri. Apapun yang kita berikan terhadap
alam/ lingkungan, hal itu akan kembali pada kita juga.
- Menumbuhkan sikap ramah lingkungan bagi generasi selanjutnya (berupa pendidikan sejak dini). Usia dini adalah awal pembentukan nilai-nilai agama dan masyarakat yang strategis sifatnya. Sebab masa ini merupakan tahap pengenalan dalam proses pendidikan yang akan menentukan tahap berikutnya.[17] Dengan adanya penanaman rasa cinta lingkungan sejak dini, maka tahap selanjutnya nilai itu akan mulai menjadi pembiasaan dan akhirnya dapat membentuk perilaku dan kepribadian yang ramah lingkungan pula.
- Menumbuhkan kesalehan Lingkungan
Kesalehan
bagi sebagian besar masyarakat diterjemahkan sebagai bentuk ketaatan terhadap
hukuk agama yang terjewantahkan dalam ritual keagamaan seperti shalat, puasa,
atau naik haji. Pendangan ini perlu diperluas, sebab kesalehan tidak
semata-mata sekedar menjalankan ibadah atau ritual keagamaan. Kesalehan yang
terbatas pada aktifitas ritual agama saja akan menjadi sempit karena menafikan
relasi manusia dengan lingkungan sebagai tempat berpijak. Kesalehan yang
sesungguhnya adalah akhlak yang paripurna karena sesungguhnya agama itu adalah
akhlak yang baik (khusnul khuluq).
Factor ketergantungan manusia terhadap alam seharusnya dapat menyadarkan
manusia untuk senantiasa menjaga dan merawatnya. Ada beberapa cara untuk membentuk kesalehan
lingkungan antara lain:
Ø Revitalisasi
ajaran agama
Ø Tadabbur
alam yang kita tempati sungguh eksotik: keeksotikan dan keindahan alam adalah
modal untuk kita berfikir, merenung dan bermuara pada aktifitas untuk
memanfaatkan, mengelola, dan menjaga dengan penuh dengan tanggung jawab.
Ø Berpartisipasi
dalam program hijau
Ø Program
reward and punishment : kesalehan
lingkungan juga dapat dibentuk melalui program ini.pemerintah dapat memberi reward
kepada siapa saja yang berprestasi dalam menjaga kelestarian lingkungan. [18]
C.
KESIMPULAN
1.
pengertian
tentang konteks kehidupan dunia modern, dihubungkan dengan konotasi modernitas
yang mengalami atau bahkan menderita ekses. Ekses itu adalah akibat dari
dominasi ilmu pengetahuan yang, menurut Ashadi siregar, hanya mampu melahirkan
teknokrat-teknokrat tanpa peraaan. Kemajuan-kemajuan yang terjadi dalam dunia
modern di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tidak diimbangi dengan
spiritualitas yang tinggi pula.
2.
peradaban
modern yang berkembang di Barat sejak zaman renaissans merupakan eksperimen
yang telah mengalami kegagalan, manusia modern telah menciptakan sebuah Sains
yang tidak berlandaskan cahaya intellek, hanya berdasarkan kekuatan akal
(rasio) saja.
3.
Manusia
modern merasa cukup dengan perangkat ilmu dan teknologi yang telah mereka
miliki, sehingga ajaran wahyu-pun kian di tinggalkan. Mereka telah memasuki
fase paham sekularisme. Kegagalan pengelolaan lingkungan juga terjadi akibat
kemiskinan dan akibat cara berpandangan yang sempit yang sering digunakan
manusia dalam mengejar kesejahteraan. Banyak bagian dunia yang terperangkap
dalam spiral menurun yang kejam; rakyat miskin terpaksa menggunakan sumber daya
lingkungan secara berlebihan demi kelangsungan hidupnya dari hari ke hari, dan
pemiskinan lingkungan hidup mereka itu memiskinkan mereka lebih jauh, membuat
kelangsungan hidup mereka lebih sulit dan semakin tidak pasti. Kesejahteraan
yang diperoleh sebagian dunia acap kali genting, karena diperoleh melalui
praktik pertanian, industri, kehutanan, dan pertambangan yang menghasilkan
keuntungan dan kemajuan hanya jangka pendek.
4.
perwujudan
konkret dari adanya krisis lingkungan akibat dari ulah manusia modern
diantaranya adalah : Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur; Tragedi Minata di
Teluk Minata, Jepang; Bencana Chernobyl
di Rusia; dan Tragedi Teluk Meksiko.
5.
kiat-kiat
yang dapat dilakukan untuk mewujudkan manusia modern yang ramah lingkungan:
kembali kepada agama yang telah ditinggalkan,
Mengubah pandangan manusia modern dengan mengikis pandangan
antroposentrisme (manusia yang hidup ditengah lingkungan) dan menggantinya
dengan pandangan antropocosmis (manusia sebagai bagian dari alam), mengajarkan
sikap ramah lingkungan sejak dini, dan menumbuhkan kesalehan lingkungan pada
diri kita.
6.
Cara
menumbuhkan kesalehan lingkungan dapat dilakukan dengan: revitalisasi ajaran
agama, tadabbur terhadap alam yang kita tepati, ikut berpartisipasi dalam
program penghijauan, dan program reward
and punishment.
DAFTAR
PUSTAKA
Maksum, Ali.2003. tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern : Telaah Signifikansi konsep
“Tradisionalisme Islam” Sayyed Husain Nasr. Surabaya: pustaka pelajar.
Arjana, Bagus. 2013. Geografi
Lingkungan Sebuah Introduksi .
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Madjid, nurcholis. 2008. Islam, Kemodernan, dan keIndonesiaan. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah STAIN KEDIRI
Sumantri, Arif. 2010. Kesehatan Lingkungan dan Perspektif Islam. Jakarta: KENCANA PRENADA
MEDIA GROUP.
Ramly, Nadjamuddin. 2007. Islam Ramah Lingkungan. Jakarta: Grafindo Khasanah Ilmu.
Abdul, Ibrahim. 2010. Greendeen: Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola alam. Jakarta:
Zaman.
Risa ,Agustin. Kamus
Ilmiah Popular .Surabaya: Serba Jaya
Ali, Yunasril. 2012. Sufisme dan Pluralisme: Memahami Hakikat Agama dan Relasi Agama-Agama.
Jakarta: Kompas Gramedia.
www. Liputan6. com
[1] Bambang Giatno (pengantar: dalam
buku berudul Kesehatan Lingkungan dan
Perspektif Islam, 2010).
[2] Ali Maksum, tasawuf sebagai pembebasan manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep
“Tradisionalisme Islam” Sayyed Hossein Nasr (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR,
2003), H.69
[3]
Secara sederhana, kata
gloal berarti menyeluruh, utuh. Sedangkan globalisasi berarti pengglobalan
seluruh aspek kehidupan, perwujudan (perombaan/ peningkatan/ perubahan) secara
menyeluruh di segala aspek kehidupan. Risa Agustin, Kamus Ilmiah Popular (Surabaya: Serba Jaya), h.145
[4] Yunasril Ali, Sufisme dan
Pluralisme: Memahami Hakikat Agama dan Relasi Agama-Agama (Jakarta: Kompas
Gramedia, 2012), h. 69
[5]
Ali Maksum, tasawuf sebagai pembebasan manusia Modern:
Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme Islam” Sayyed Hossein Nasr
(Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2003), H.69
[6]
Nurcholis Madjid. 2008. Islam,
Kemodernan, dan KeIndonesiaan. Bandung: Mizan Pustaka. h.115
[7] Ali Maksum, Tasawuf sebagai
pembebasan….h. 71
[8]
Nadjamuddin Ramly, Islam Ramah Lingkungan (Jakarta Selatan:
Grafindo Khasanah Ilmu, 2007),h. 21
[9]
Adalah seorang pemikir
tasawuf kontemporer dari Iran, salah satu karyanya berjudul Man and Nature (berisi tentang bagaimana
seharusnya manusia memperlakukan alam).
[10]
Ali Maksum, Tasawuf sebagai pembebasan….h. 73
[11] Ibid. h.78
[12]
Bambang Giatno (pengantar:
dalam buku berudul Kesehatan Lingkungan
dan Perspektif Islam, 2010).
[13]
Bagus Arjana, Geografi Lingkungan Sebuah Introduksi (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2013), h.135
[14] Ibid.
[15] Arif Sumantri, Kesehatan Lingkungan dan Perspektif Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 286
[16] Islam Ramah Lingkungan…h. 79
[17] Ibid.
[18]
Arif Sumantri, Kesehatan Lingkungan….h. 246
Tidak ada komentar:
Posting Komentar