WAHDATUL
WUJUD
Pemikiran Tasawuf Falsafi Ibnu ‘Arabi
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah
Tasawuf Falsafi
Dosen Pengampu :
Dr. Moh. Asror Yusuf, M.Ag.
Disusun oleh:
Ilma Khusnita (9336104 13)
PROGRAM STUDI AKHLAK DAN TASAWUF
JURUSAN USHULUDDIN DAN ILMU
SOSIAL
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2015
A.
Latar Belakang
Pesatnya perkembangan pemikiran dalam Islam menyebabkan dikenalnya
para tokoh sufi dengan pemikiran-pemikirannya yang cemerlang. Berbagai ajaran
mereka memberikan peranan yang sangat penting dalam sejarah umat Islam serta
berpengaruh kuat dikalangan umat Islam sampai saat ini.
Dengan keluasan pengetahuan agama mereka, keshalihan dan sikap
hidup mereka yang diliputi kezuhudan, membuat para pengagum mereka tertarik
untuk mengikuti dan meneladaninya. Ajaran yang mereka sampaikan menjadi pelita
hati dan penerang jiwa bagi pengikutnya dalam rangka mendekatkan diri mereka
kepada Tuhan. Pengamalan ajaran tasawuf bagi mereka terasa sangat nikmat tiada
tara bandingannya.
Salah satu seorang tokoh sufi yang pemikirannya sangat mengagumkan
yaitu Ibnu ‘Arabi. Agar kita semua bisa lebih tahu tentang Tokoh sufi ini, maka
dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang tokoh tersebut beserta
pemikiran wahdatul wujud nya. Dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1)
Bagaimana
biografi singkat Ibnu ‘Arobi ?
2)
Apa saja
karya-karya yang telah di hasilkannya ?
3)
Bagaimana
pemikiran Tasawuf Falsafi Ibnu ‘Arabi tentang Wahdatul Wujud ?
B.
Biografi dan
Karya-Karya
Nama
lengkapnya adalah Syaikh Abu Bakar Muhammad Muhyiddin al-Hatimi at-Ta’I
al-Andalusi. Di Andalusia (Barat) dia dikenal dengan nama Ibnu ‘Arabi, tanpa
alif lam (bukan Ibnu al-‘Arabi). Namanya biasa disebut tanpa al untuk
membedakannya dengan Abu Bakar Ibn Al-Arabi, seorang qadhi dari Sevilla yang
wafat tahun 543 H. Di samping, itu dia
biasa juga disebut dengan al-Qutb, al-Gaus, al-Syaih al-Akbar,atau Ibrit al-Ahmar.
Dia lahir pada tanggal 17 Ramadhan tahun 560 H/ 28 Juli 1163 M.[1]
Ibnu ‘Arabi
mempelajari al-Qur’an, Hadis, serta fiqih pada sejumlah murid seorang faqih
Andalusia terkenal, yaitu Ibnu Hazm Azh-Zhahiri. Setelah berusia 30 tahun, ia
mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian Barat.
Di antara guru-gurunya, tercatat nama-nama, seperti Abu Madyan al-Ghauts,
at-Talimsari dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan wanita).
Keduanya banyak mempengaruhi ajaran-ajaran Ibnu ‘Arabi. Dikabarkan ia pun
pernah berjumpa dengan Ibnu Rusyd filosof muslim dan tabib istana dinasti
Berbar dari Alomohad, di Kordova. Ia juga dikabarkanmengunjungi al-Mariyyah
yang menjadi pusat madrasah Ibnu Masarrah, seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh
dan memperoleh banyak pengaruh di Andalusia.[2]
Kemudian selama
beberapa waktu ia pergi bolak-balik atau pulang pergi antara Hijaz, Yaman,
Syiria, Irak dan Mesir. Akhirnya pada tahun 620 H, dia menetap di Hijaz, hingga
akhir hayatnya.[3]
Ibnu ‘Arabi wafat pada tahun 638 H di Damaskus, makamnya terletak di gunung
Qayisun di Syiria. Sampai sekarang makam sang Syaih ini masih sering di ziarahi
orang. Makam syaih Ibnu ‘Arabi dibangun di kompleks masjid oleh Sulthan Salim.
Di kisahkan bahwa makam Ibnu ‘Arabi pada mulanya tidak di kenal, akan tetapi
belakangan kemudian makam Ibnu ‘Arabi menjadi terkenal. Dalam salah satu kitab
karya Ibnu ‘Arabi tertulis keterangan oleh beliau sendiri, bahwa :”suatu ketika
kelak jika huruf sin sudah masuk syin, baru akan kelihatan makam Muhyiddin.”
Ternyata makna dari tulisan ini adalah, jika kelak Sulthan Salim (huruf sin)
sudah masuk Syiria (huruf syin) maka baru akan dikenal makam Syaikh Muhyiddin
Ibnu ‘Arabi.
Sulthan Salim membangun makam Ibnu ‘Arabi pada tahun 923 H, sedangkan
wafatnya Ibnu ‘Arabi pada tahun 638 H, dengan demikian jarak antara wafatnya
Ibnu ‘Arabi sampai ditemukannya makamnya berjarak sekitar 300 tahun.[4]
Di antara karya-karya
monumentalnya adalah Futuhat al-Makiyyah yang ditulis tahun 1201 tatkala
ia sedang menunaikan ibadah haji. Dalam buku Concise Encyclopedia of Arabic
Civilization disebutkan jumlah karya tulis Ibnu ‘Arabi mencapai 300 buah,
dan hanya 150 buah yang dapat dijumpai. Dari semua itu hanya sebagian kecil
yang diterbitkan, dan dari buku-bukunya yang dapat ditemui hingga sekarang ada
dua buah yang sangat terkenal dan yang menggambarkan corak ajaran tasawufnya,
yaitu Futuhat al-Makiyyah dan Fusus al-Hikam. Dr. Muhammad Yusuf
Musa mengatakan, bahwa kedua kitab itu merupakan sumber utama bagi siapa yang
ingin mengkaji dan meneliti ajaran tasawuf Ibnu ‘Arabi.[5]
Dalam buku lain,
disebutkan karya lain Ibnu ‘Arabi yaitu Masyahid al-Asrar, Mathali’ al-Anwar
al-Illahiyyah, Hilyat Al-Abdal, Kimiya’ as-Sa’adat, Muhadharat Al-Abrar, kitab
al-Akhlaq, Majmu’ Ar-Rasa’il al-Illahiyyah, Mawaqi’ An-Nujum, al-Jam’ wa
at-Tafshil fi Haqa’iq at-Tanzil, al-Ma’rifah al-Illahiyyah, dan al-Isra’
ila Maqam al-Atsna.[6]
C.
Pemikiran
tentang Wahdatul Wujud
Ajaran sentral Ibnu ‘Arabi adalah tentang wahdat al-wujud
(kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat al-wujud yang
dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi
berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan
mengkritik ajaran sentralnya tersebut. Ibnu Taimiyahlah yang telah berjasa
dalam mempopulerkannya ketengah masyarakat Islam. Meskipun tujuannya adalah
negatif. Di samping itu, meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah
wahdatul wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibnu ‘Arabi, di pihak lain
mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian wahdatul wujud.[7]
Menurut Ibnu Taimiyah, wahdatul wujud adalah penyamaan Tuhan
dengan alam. Menurut penjelasannya, orang-orang yang mempunyai paham wahdatul
wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib
al-wujud yang dimiliki oleh Khaliq juga mumkin al-wujud yang
dimiliki oleh al-makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdat
al-wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan,
tidak ada perbedaan.
Dari pengertian tersebut, Ibnu Taimiyah telah menilai ajaran
sentral Ibnu ‘Arabi dari aspek tasybih-nya (penyerupaan Khaliq dengan
makhluk) saja, tetapi belum menilainya dari aspek tanzih-nya (penyucian
khaliq). Sebab kedua aspek itu, terdapat dalam ajaran Ibnu ‘Arabi. Akan tetapi
perlu disadari bahwa kata-kata Ibnu ‘Arabi pun banyak yang membawa pada
pengertian seperti yang dipahami oleh Ibnu Taimiyah meskipun ditempat lain
terdapat kata-kata Ibnu ‘Arabi yang membedakan antara khaliq dengan makhluk dan
antara Tuhan dengan alam.
Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud
makhluk pada hakikatnya adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara
keduanya (Khaliq dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira
bahwa antara wujud Khaliq dan makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut
pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap
hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu
berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibnu ‘Arabi berikut ini :
سبحان من خلق الا شياء و هو عينه
Artinya :
“Maha suci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia
sendiri adalah hakikat dari segala sesuatu itu. ”
Menurut Ibnu ‘Arabi,
wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam.
Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Khaliq dengan wujud
yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara abid (menyembah)
dengan ma’bud (yang disembah). Bahkan antara yang menyembah dan yang disembah
adalah satu. Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu.
Untuk pernyataan tersebut, Ibnu ‘Arabi mengemukakan lewat sya’irnya berikut.
“Hamba
adalah Tuhan dan Tuhan adalah hamba.Demi syu’ur (perasaan) ku, siapakah yang
mukallaf ?Jika Engkou katakana hamba, padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan
juga.Atau engkou katakana Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif? ”
Kalau antara Khaliq
dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibnu ‘Arabi
menjawab, sebabnya adalah manusia tidak memandang dari sisi yang satu, tetapi
memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah khaliq dari
sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang
dari sisi yang satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikat keduanya, yaitu
dzatnya satu yang tidak terbilang dan terpisah.
Sehubungan
dengan hal tersebut, Ibnu ‘Arabi pun menyatakan dalam syairnya sebagai berikut:
“pada satu sisi, al-Haq adalah makhluk, maka pikirkanlah.
Pada sisi lain, Dia bukanlah makhluk, maka renungkanlah.
Siapa saja yang menangkap apa yang aku katakan, penglihatannya
tidak akan pernah kabur.
Tidak ada yang akan dapat menangkapnya, kecuali orang yang memiliki
penglihatan.
Satukan dan pisahkan (bedakan, sebab ‘ain (hakikat) itu
sesungguhnya hanya satu.
Hakikat itu adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap) dan yang
tidak pula buyar.”
Dari keterangan
di atas terkesan bahwawujud tuhan adalah juga wujud alam dan wujud Tuhan
bersatu dengan wujud alam yang dalam istilah barat disebut panteisme.[8]
Selanjutnya Ibnu ‘Arabi
juga menjelaskan dalam kitabnya futuhat al-makkiyah bahwa Allah adalah
“wujud mutlak” yaitu, dzat yang mandiri, yang keberadaannya tidak disebabkan
oleh suatu apapun. Di halaman lain dalam kitab itu dia menulis: “pertama-tama
harus diketahui bahwa Allah adalah dzat yang awal, yang tidak ada sesuatupun mendahului-Nya.
Tidak ada sesuatu pun yang awal bersama-Nya, Dia ada dengan sendiri-Nya, tidak
membutuhkan sesuatu selain Dia. Dia adalah Tuhan yang Maha Esa, yang tidak
berhajat kepada alam semesta.”
Allah adalah pencipta
alam semesta. Tentang proses penciptaan alam, dapat dilihat dalam karyanya fusus
al-Hikam. Menurut Ibnu ‘Arabi, ada lima tingkatantajalli (penampakan)
atau tanazzul (turun berjenjang) zat Tuhan, yaitu :
1)
Tajalli (penampakan) zat Tuhandalam bentuk-bentuk al-a’yan as-sabitah,
yang disebut alam al-Ma’ani.
2)
Tanazzul zat Tuhan dari ‘alam al-Ma’ani kepada realitas-realitas
ruhaniah, yang disebut dengan alam al-Arwah.
3)
Tanazzul zat Tuhan dalam rupa realitas-realitas an-Nafsiyah yang disebut
dengan alam an-Nufus an-Natiqah.
4)
Tanazzul zat Tuhan dalam bentuk-bentuk jasad tanpa materi, yang disebut ‘alam
al-Misal.
5)
Tanazzul zat Tuhan dalam bentuk jasad bermateri, yang disebut pula dengan ‘alam
al-ajsam al-Madiyah.
Lebih lanjut disebutkan bahwa
peringkat pertama sampai peringkat ke empat adalah martabat ghaib (alam
metafisik), sedangkan peringkat lima adalah alam fisik atau alam materi.
Menurut teori Ibnu ‘Arabi, proses terjadinya alamini tidak terlepas dari
ajarannya tentang haqiqah Muhammadiyah atau nur Muhammad.[9]
D.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat di
ambil beberapa kesimpulan, yaitu latar belakang, pendidikan, dan lingkungan
hidup Ibnu ‘Arabi (Biografi), beserta karya-karyanya juga.
Ajaran yang paling sentral Ibnu
‘Arabi adalah pemikirannya tentang wahdatul wujud, menyatakan bahwa
wujud yang hakiki hanya satu, yaitu wujud Allah. Sedangkan alam merupakan mazhar
(penampakan) bagi-Nya. Tidak ada wujud yang haqiqi, kecuali wujud yang satu.
Karena itu, Tuhan berwujud dalam berbagai bentuk, tetapi hal itu tidak
mengharuskan berbilangnya wujud yang sebenarnya.
Konsep wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi
tidak sampai kepada paham Panteisme. Tuhan masih dianggap sebagai Pencipta dan
bukan sebaliknya. Di samping itu pula sampai kepada paham ittihad sebagaimana
yang dianggap oleh Ibnu Taimiyah. Konsep wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi juga
mempuyai dua aspek, yaitu aspek tanzih dan tasybih, dan antara keduanya tidak
dapat dipisahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Isa. 2001. Tokoh-Tokoh Sufi (Tauladan Kehidupan yang
saleh). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Munir, Samsul. 2008. Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi. Jakarta:
AMZAH.
Solihin, M. 2003. Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman. Bandung :
CV Pustaka Setia.
Rusli, ris’an. 2013. Tasawuf dan Tarekat (Studi Pemikiran dan
Pengalaman Sufi). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Solihin, M. dan Anwar, Rosihon. 2011. Ilmu Tasawuf. Bandung:
CV Pustaka Setia.
[1]Ahmadi isa.
2001. Tokoh-Tokoh Sufi: Tauladan Kehidupan yang Saleh. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. h.203
[2] M. Sholihin.
2003. Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman. Bandung: CV Pustaka Setia.
h.153
[3] Ibid. Ahmadi
Isa.
[4]Samsul Munir
Amin. 2008. Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi. Jakarta: AMZAH. h.131
[5]Ibid. Isa
Ahmadi. h. 204
[6]M. Sholihin dan
Rosihon Anwar. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia. h. 175
[7]Ibid.
[8]
Ibid. h. 177
[9]
Ibid. Ahmadi Isa. h. 205
Tidak ada komentar:
Posting Komentar