Minggu, 13 Desember 2015

makalah tasawuf falsafi ibnu arabi



WAHDATUL WUJUD
Pemikiran Tasawuf Falsafi Ibnu ‘Arabi

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Tasawuf Falsafi
Dosen Pengampu :
Dr. Moh. Asror Yusuf, M.Ag.


 








Disusun oleh:
Ilma Khusnita             (9336104 13)
PROGRAM STUDI AKHLAK DAN TASAWUF
JURUSAN USHULUDDIN DAN ILMU SOSIAL
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2015
A.  Latar Belakang
Pesatnya perkembangan pemikiran dalam Islam menyebabkan dikenalnya para tokoh sufi dengan pemikiran-pemikirannya yang cemerlang. Berbagai ajaran mereka memberikan peranan yang sangat penting dalam sejarah umat Islam serta berpengaruh kuat dikalangan umat Islam sampai saat ini.
Dengan keluasan pengetahuan agama mereka, keshalihan dan sikap hidup mereka yang diliputi kezuhudan, membuat para pengagum mereka tertarik untuk mengikuti dan meneladaninya. Ajaran yang mereka sampaikan menjadi pelita hati dan penerang jiwa bagi pengikutnya dalam rangka mendekatkan diri mereka kepada Tuhan. Pengamalan ajaran tasawuf bagi mereka terasa sangat nikmat tiada tara bandingannya.
Salah satu seorang tokoh sufi yang pemikirannya sangat mengagumkan yaitu Ibnu ‘Arabi. Agar kita semua bisa lebih tahu tentang Tokoh sufi ini, maka dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang tokoh tersebut beserta pemikiran wahdatul wujud nya. Dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1)      Bagaimana biografi singkat Ibnu ‘Arobi ?
2)      Apa saja karya-karya yang telah di hasilkannya ?
3)      Bagaimana pemikiran Tasawuf Falsafi Ibnu ‘Arabi tentang Wahdatul Wujud ?
B.  Biografi dan Karya-Karya
Nama lengkapnya adalah Syaikh Abu Bakar Muhammad Muhyiddin al-Hatimi at-Ta’I al-Andalusi. Di Andalusia (Barat) dia dikenal dengan nama Ibnu ‘Arabi, tanpa alif lam (bukan Ibnu al-‘Arabi). Namanya biasa disebut tanpa al untuk membedakannya dengan Abu Bakar Ibn Al-Arabi, seorang qadhi dari Sevilla yang wafat  tahun 543 H. Di samping, itu dia biasa juga disebut dengan al-Qutb, al-Gaus, al-Syaih al-Akbar,atau Ibrit al-Ahmar. Dia lahir pada tanggal 17 Ramadhan tahun 560 H/ 28 Juli 1163 M.[1]
Ibnu ‘Arabi mempelajari al-Qur’an, Hadis, serta fiqih pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal, yaitu Ibnu Hazm Azh-Zhahiri. Setelah berusia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian Barat. Di antara guru-gurunya, tercatat nama-nama, seperti Abu Madyan al-Ghauts, at-Talimsari dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan wanita). Keduanya banyak mempengaruhi ajaran-ajaran Ibnu ‘Arabi. Dikabarkan ia pun pernah berjumpa dengan Ibnu Rusyd filosof muslim dan tabib istana dinasti Berbar dari Alomohad, di Kordova. Ia juga dikabarkanmengunjungi al-Mariyyah yang menjadi pusat madrasah Ibnu Masarrah, seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh dan memperoleh banyak pengaruh di Andalusia.[2]
Kemudian selama beberapa waktu ia pergi bolak-balik atau pulang pergi antara Hijaz, Yaman, Syiria, Irak dan Mesir. Akhirnya pada tahun 620 H, dia menetap di Hijaz, hingga akhir hayatnya.[3] Ibnu ‘Arabi wafat pada tahun 638 H di Damaskus, makamnya terletak di gunung Qayisun di Syiria. Sampai sekarang makam sang Syaih ini masih sering di ziarahi orang. Makam syaih Ibnu ‘Arabi dibangun di kompleks masjid oleh Sulthan Salim. Di kisahkan bahwa makam Ibnu ‘Arabi pada mulanya tidak di kenal, akan tetapi belakangan kemudian makam Ibnu ‘Arabi menjadi terkenal. Dalam salah satu kitab karya Ibnu ‘Arabi tertulis keterangan oleh beliau sendiri, bahwa :”suatu ketika kelak jika huruf sin sudah masuk syin, baru akan kelihatan makam Muhyiddin.” Ternyata makna dari tulisan ini adalah, jika kelak Sulthan Salim (huruf sin) sudah masuk Syiria (huruf syin) maka baru akan dikenal makam Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi.
Sulthan Salim membangun makam Ibnu ‘Arabi pada tahun 923 H, sedangkan wafatnya Ibnu ‘Arabi pada tahun 638 H, dengan demikian jarak antara wafatnya Ibnu ‘Arabi sampai ditemukannya makamnya berjarak sekitar 300 tahun.[4]
      Di antara karya-karya monumentalnya adalah Futuhat al-Makiyyah yang ditulis tahun 1201 tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji. Dalam buku Concise Encyclopedia of Arabic Civilization disebutkan jumlah karya tulis Ibnu ‘Arabi mencapai 300 buah, dan hanya 150 buah yang dapat dijumpai. Dari semua itu hanya sebagian kecil yang diterbitkan, dan dari buku-bukunya yang dapat ditemui hingga sekarang ada dua buah yang sangat terkenal dan yang menggambarkan corak ajaran tasawufnya, yaitu Futuhat al-Makiyyah dan Fusus al-Hikam. Dr. Muhammad Yusuf Musa mengatakan, bahwa kedua kitab itu merupakan sumber utama bagi siapa yang ingin mengkaji dan meneliti ajaran tasawuf Ibnu ‘Arabi.[5]
      Dalam buku lain, disebutkan karya lain Ibnu ‘Arabi yaitu Masyahid al-Asrar, Mathali’ al-Anwar al-Illahiyyah, Hilyat Al-Abdal, Kimiya’ as-Sa’adat, Muhadharat Al-Abrar, kitab al-Akhlaq, Majmu’ Ar-Rasa’il al-Illahiyyah, Mawaqi’ An-Nujum, al-Jam’ wa at-Tafshil fi Haqa’iq at-Tanzil, al-Ma’rifah al-Illahiyyah, dan al-Isra’ ila Maqam al-Atsna.[6]
C.  Pemikiran tentang Wahdatul Wujud
Ajaran sentral Ibnu ‘Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut. Ibnu Taimiyahlah yang telah berjasa dalam mempopulerkannya ketengah masyarakat Islam. Meskipun tujuannya adalah negatif. Di samping itu, meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah wahdatul wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibnu ‘Arabi, di pihak lain mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian wahdatul wujud.[7]
Menurut Ibnu Taimiyah, wahdatul wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurut penjelasannya, orang-orang yang mempunyai paham wahdatul wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh Khaliq juga mumkin al-wujud yang dimiliki oleh al-makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdat al-wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan, tidak ada perbedaan.
Dari pengertian tersebut, Ibnu Taimiyah telah menilai ajaran sentral Ibnu ‘Arabi dari aspek tasybih-nya (penyerupaan Khaliq dengan makhluk) saja, tetapi belum menilainya dari aspek tanzih-nya (penyucian khaliq). Sebab kedua aspek itu, terdapat dalam ajaran Ibnu ‘Arabi. Akan tetapi perlu disadari bahwa kata-kata Ibnu ‘Arabi pun banyak yang membawa pada pengertian seperti yang dipahami oleh Ibnu Taimiyah meskipun ditempat lain terdapat kata-kata Ibnu ‘Arabi yang membedakan antara khaliq dengan makhluk dan antara Tuhan dengan alam.
Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (Khaliq dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud Khaliq dan makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibnu ‘Arabi berikut ini :
سبحان من خلق الا شياء و هو عينه
Artinya :
Maha suci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat dari segala sesuatu itu.
Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Khaliq dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara abid (menyembah) dengan ma’bud (yang disembah). Bahkan antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu. Untuk pernyataan tersebut, Ibnu ‘Arabi mengemukakan lewat sya’irnya berikut.

Hamba adalah Tuhan dan Tuhan adalah hamba.Demi syu’ur (perasaan) ku, siapakah yang mukallaf ?Jika Engkou katakana hamba, padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga.Atau engkou katakana Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif?
Kalau antara Khaliq dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibnu ‘Arabi menjawab, sebabnya adalah manusia tidak memandang dari sisi yang satu, tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah khaliq dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang dari sisi yang satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikat keduanya, yaitu dzatnya satu yang tidak terbilang dan terpisah.
Sehubungan dengan hal tersebut, Ibnu ‘Arabi pun menyatakan dalam syairnya sebagai berikut:
“pada satu sisi, al-Haq adalah makhluk, maka pikirkanlah.
Pada sisi lain, Dia bukanlah makhluk, maka renungkanlah.
Siapa saja yang menangkap apa yang aku katakan, penglihatannya tidak akan pernah kabur.
Tidak ada yang akan dapat menangkapnya, kecuali orang yang memiliki penglihatan.
Satukan dan pisahkan (bedakan, sebab ‘ain (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu.
Hakikat itu adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap) dan yang tidak pula buyar.”
Dari keterangan di atas terkesan bahwawujud tuhan adalah juga wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam yang dalam istilah barat disebut panteisme.[8]
       Selanjutnya Ibnu ‘Arabi juga menjelaskan dalam kitabnya futuhat al-makkiyah bahwa Allah adalah “wujud mutlak” yaitu, dzat yang mandiri, yang keberadaannya tidak disebabkan oleh suatu apapun. Di halaman lain dalam kitab itu dia menulis: “pertama-tama harus diketahui bahwa Allah adalah dzat yang awal, yang tidak ada sesuatupun mendahului-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang awal bersama-Nya, Dia ada dengan sendiri-Nya, tidak membutuhkan sesuatu selain Dia. Dia adalah Tuhan yang Maha Esa, yang tidak berhajat kepada alam semesta.”
       Allah adalah pencipta alam semesta. Tentang proses penciptaan alam, dapat dilihat dalam karyanya fusus al-Hikam. Menurut Ibnu ‘Arabi, ada lima tingkatantajalli (penampakan) atau tanazzul (turun berjenjang) zat Tuhan, yaitu :
1)      Tajalli (penampakan) zat Tuhandalam bentuk-bentuk al-a’yan as-sabitah, yang disebut alam al-Ma’ani.
2)      Tanazzul zat Tuhan dari ‘alam al-Ma’ani kepada realitas-realitas ruhaniah, yang disebut dengan alam al-Arwah.
3)      Tanazzul zat Tuhan dalam rupa realitas-realitas an-Nafsiyah yang disebut dengan alam an-Nufus an-Natiqah.
4)      Tanazzul zat Tuhan dalam bentuk-bentuk jasad tanpa materi, yang disebut ‘alam al-Misal.
5)      Tanazzul zat Tuhan dalam bentuk jasad bermateri, yang disebut pula dengan ‘alam al-ajsam al-Madiyah.
Lebih lanjut disebutkan bahwa peringkat pertama sampai peringkat ke empat adalah martabat ghaib (alam metafisik), sedangkan peringkat lima adalah alam fisik atau alam materi. Menurut teori Ibnu ‘Arabi, proses terjadinya alamini tidak terlepas dari ajarannya tentang haqiqah Muhammadiyah atau nur Muhammad.[9]

D.  Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat di ambil beberapa kesimpulan, yaitu latar belakang, pendidikan, dan lingkungan hidup Ibnu ‘Arabi (Biografi), beserta karya-karyanya juga.
Ajaran yang paling sentral Ibnu ‘Arabi adalah pemikirannya tentang wahdatul wujud, menyatakan bahwa wujud yang hakiki hanya satu, yaitu wujud Allah. Sedangkan alam merupakan mazhar (penampakan) bagi-Nya. Tidak ada wujud yang haqiqi, kecuali wujud yang satu. Karena itu, Tuhan berwujud dalam berbagai bentuk, tetapi hal itu tidak mengharuskan berbilangnya wujud yang sebenarnya.
Konsep wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi tidak sampai kepada paham Panteisme. Tuhan masih dianggap sebagai Pencipta dan bukan sebaliknya. Di samping itu pula sampai kepada paham ittihad sebagaimana yang dianggap oleh Ibnu Taimiyah. Konsep wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi juga mempuyai dua aspek, yaitu aspek tanzih dan tasybih, dan antara keduanya tidak dapat dipisahkan. 



DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Isa. 2001. Tokoh-Tokoh Sufi (Tauladan Kehidupan yang saleh). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Munir, Samsul. 2008. Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi. Jakarta: AMZAH.
Solihin, M. 2003. Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman. Bandung : CV Pustaka Setia.
Rusli, ris’an. 2013. Tasawuf dan Tarekat (Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Solihin, M. dan Anwar, Rosihon. 2011. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.





[1]Ahmadi isa. 2001. Tokoh-Tokoh Sufi: Tauladan Kehidupan yang Saleh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. h.203
[2] M. Sholihin. 2003. Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman. Bandung: CV Pustaka Setia. h.153 
[3] Ibid. Ahmadi Isa.
[4]Samsul Munir Amin. 2008. Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi. Jakarta: AMZAH. h.131
[5]Ibid. Isa Ahmadi. h. 204
[6]M. Sholihin dan Rosihon Anwar. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia. h. 175
[7]Ibid.
[8] Ibid. h. 177
[9] Ibid. Ahmadi Isa. h. 205

Tidak ada komentar:

Posting Komentar