Senin, 28 Desember 2015

tasawuf Rumy



A.    Latar Belakang
Berbeda dengan tokoh-tokoh Sufi lain semasanya, Rumi telah mengambil bentuk sufisme tersendiri. Rumi ini menerangkan kepada murid-muridnya tentang pemikiran sufisme sesuai dengan pengalaman spiritualnya sendiri. Ia tidak menjelaskan tentang maqamat-maqamat. Sehingga pemikiran Rumi banyak tertuang dalam sajak, syair dan prosa.
Bagi seseorang yang ingin memahami pribadi Rumi dan perjalanan spiritualnya dalam menapaki Sufi, terlebih dahulu orang tersebut harus memahami syair-syair Rumi. Karena di dalam syair-syairnya tersebut tersurat pemikiran dan ajaran Rumi yang sesungguhnya.
Selain mistikus cinta, Rumi juga merupakan pendiri sebuah tarekat yang disebut dengan tarekat maulawiyah. Dalam tarekatnya tersebut, rumi mengajarkan berbagai ilmu tentang bagaimana caranya untuk menapaki jalan Sufi.

B.     Biografi Jalaluddin Ar-Rumi
Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Faridddun Attar itu tidak meleset.
Nama lengkapnya Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Dia dilahirkan di Balkh pada tahun 604 H/1217 M. dan meninggal pada tahun 672 H/ 1273 M. di Qunyah. Pada waktu dia berusia empat tahun (ada yang mengatakan usia lima tahun) dia dibawa ayahnya ke Asia Kecil, yang dulu dikenal dengan negeri Rum; dan itulah sebabnya, namanya dinisbahkan dengan ar-Rumi.[1]
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermazhab hanafi. Dan karena charisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sultanul Ulama. Ayah Rumi adalah seorang pengarang Ma’arif (Ilmu Ketuhanan), sebuah ikhtisar panjang tentang ajaran-ajaran Rohani yang sangat dikuasai Rumi, kelak corak dan isinya tampak jelas mempengaruhi karyanya. Rumi ditinggal wafat ayahnya pada usia 24 tahun. Ayahnya meninggal di Konya, Turki. Pada usia 24 tahun, Rumi sudah diminta untuk menggantikan tugas-tugas ayahnya sebagai dai sekaligus ahli hokum Islam. Setelah ayahnya wafat, Rumi berguru kepada Burhanuddin Muhaqqia at-Turmudzi dan ia juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Dan kembali ke Konya pada tahun 634 H.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Kemudian, kedatangan Syamsuddin At-Tirbidzi dari Konya, membawa pengaruh begitu besar terhadap Rumi, bahkan juga terhadap satra Persia keseluruhan. Al-Tirbidzi lah yang menyebabkan Rumi berubah dari seorang ahli hukum yang tenang menjadi seorang pecinta yang mabuk.[2]
Rumi adalah guru nomor satu thariqat Maulawiyah, sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Tariqat maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun 1648. Salah satu ciri khas Rumi adalah tarian berputar yang mulai terbentuk Tarekat Mawlawi atau Tarekat Darwis berputar. Nama lain dari tarian berputar tersebut adalah Sama’. Konon, tarian ini melambangkan gerakan berputar jiwa, yang terjadi karena kecintaan sang Sufi dan perhatiannya ynag penuh kepada Allah. Sesungguhnya, sama’ dikalangan kaum Darwis Mawlawi, menurut Annemarie Schimmemel, adalah “ungkapan berbagai rahasia cinta mistis termatis dan terdalam. Kaum darwis, sesudah berjalan pelan-pelan mengelilingi ruangan tiga kali dan setiap kali mencium tangan syekh, kemudian menanggalkan jubbah hitam mereka (seolah-olah tubuh jasmani mereka) dan muncul dalam pakain putih cahaya keabadian mereka, sambil berputar mengelilingi sumbu dan pusatnya, bagaikan atom-atom menari mengelilingi matahari yang menariknya untuk bergerak- tarian surgawi, tarian keabadian, sebagaimana digambarkan Mawlana (Rumi) dalam sedemikian banyak bait syair dan puisinya.”[3]
 Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.[4]
Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, karena mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah menderita sakit keras. Meskipun demikan, pikiran Rumimasih menampakkan kejernihannya. Seorang sahabtnya datang menjenguk dan mendoakan, “Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuahn.” Rumi sempat menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga yang kafir dan pahit.” Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi di panggil ke Rahmatullah.[5] Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para pengikut Thariqat Maulawiyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.

C.     Karya-karya Ar-Rumi
Karya-karya Rumi mampu menyajikan gambaran kaleidoskopis tentang Tuhan, manusia, dan alam serta keterkaitan antara ketiganya meskipun memiliki kompleksitas persoalan masing-masing, dalam gambaran Rumi ketiga realitas tersebut merupakan kesatuan harmonis yang tereduksi dalam satu ungkapan yang menyatakan realitas tunggal, “Tiada Tuhan Selain Allah”.
Rumi tidak pernah berusaha menulis sebuah buku ataupun memberikan penjelasan-penjelasan secara rinci mengenai ajaran-ajarannya. Tidak seperti tokoh Sufi lainnya. Rumi tidak pernah melukiskan maupun menjelaskan tiap-tiap tahapan serta maqam-maqam yang dilampaui oleh para Sufi dalam pendakian mereka dalam menuju Tuhan. Namun, Rumi senantiasa menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya berkaitan dengan persoalan tersebut, melalui suatu cara yang secara jelas menunjuk pengalaman-penglaman pribadinya sendiri.
Keadaan Rumi berubah ketika ia berjumpa dengan seorang tokoh spiritual luar biasa, Syamsuddin Tabrizi. Rumi berjumpa dengan Syams ketika berusia 38 tahun. Sekiranya Rumi tidak pernah berjumpa dengan Syams, Ia mungkin sama sekali tidak pernah mengubah puisi dan syair, dan Rumi yang kita kenal dewasa ini tidak akan pernah ada. Sebagaimana kata Willam Chittick, pengaruh Syams “Melahirkan berbagai keadaan kontemplatif batiniah Rumi dalam bentuk puisi dan menggerakkan samudera wujudnya yang menghasilkan gelombang besar yang mengubah sejarah kususastraan Persia”.[6]
Rumi melihat dalam diri Syams api cinta yang membakar. Rumi, yang menganggap dirinya seorang syekh yang menguasai segenap ilmu pengetahuan, pun berguru kepada Syams. Ia tinggalkan segala miliknya demi kecintaan pada Kekasih Abadi, yang kini mengejawantahkan dalam sosok Syams.
Rumi mengungkapkan gagasan tasawufnya dalam puisi, prosa puisi, khotbah dan dialog. Karya tasawufnya sangat melimpah dan yang masyhur ialah Diwan-I Shamsi Tabriz (sajak-sajak pujian kepada Syams Tabriz), Matsnaw-I Ma’nawi (prosa lirik tentang makna-makna), Ruba’iyat (kumpulan sajak empat baris), Fihi Ma Fihi (di dalam ada seperti yang di dalam), Makatib (kumpulan surat-surat Rumi kepada para sahabatnya) dan Majalis-I Sab’ah (himpunan khotbah Rumi di masjid-masjid dan halaqah keagamaan).[7]
Salah satu karya, Diwan Syamsi Tabriz, merupakan memorial untuk gurunya tersebut. Karya terkenal Jalaluddin Ar-Rumi lainnya, al-masnawi, sangat besar pengaruhnya sehingga terjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa; dan juga mendapat komentar, baik dalam bahasa Persia, Turki maupun Arab. Buku al-Masnawi terdiri atas enam jilid dan berisi 20.700 bait syair.
Kumpulan puisi Rumi yang terkenal al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya.[8] Isinya juga mengeritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas, mengebiri perasaan, dan mengkultuskan rasio.
Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah:
Jangan tanya apa agamaku. Aku bukan Yahudi. Bukan Zoroaster. Bukan pula Islam. Karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku.[9]
Satu-satunya karya Rumi lainnya yang berbentuk puisi adalah Divan-I Syams-I Tabriz (Diwan Syams Tabriz), yang berisi 35.000 bait syair. Karya ini ditulis selama kurang lebih tiga puluh tahun, sejak hilangnya Syams hingga wafatnya Rumi. Karya ini berbentuk ghazal-ghazal yang ditulis Rumi sesudah ia terpisah dari Syams. Dibandingkan dengan Matsnawi, sebuah karya biasa dan tidak menunjukkan adanya kemabukan, Divan mengisyaratkan dengan sangat jelas adanya kemabukan dalam keadaan mistis.[10] Tampak jelas bahwa sebagian besar puisi itu digubah sesudah Rumi mengalami ekstase sama’ sambil berputar atau selama meditasi. Puisi-puisi itu mengungkapkan sebagian rahasia pengalaman sufi. Suatu contoh fenomenal dari metode pencerai-beraian, dimana sebuah gambar disusun dengan multi-dampak untuk memasukkan pesan ke dalam pikiran sufi. Pesan ini, Rumi maupun semua guru sufi lainnya, secara parsial disusun sebagai jawaban terhadap lingkungan di mana ia bekerja. Ia menciptakan tarian dan gerakan-gerakan memutar di kalangan para muridnya. Menurut riwayat hal ini disebabkan temperamen lamban dan malas dari orang yang diajarinya.
Salah satu karakteristik yang benar-benar Sufistik dari Rumi adalah bahwa, sekalipun tentu ia akan memberikan pertanyaan tegas yang paling popular – bahwa orang biasa, apapun pencapain formalnya, tidak dewasa dalam mistisisme – ia juga memberikan kesempatan bagi hampir semua orang untuk mencapai kemajuan menuju penyempurnaan nasib manusia.[11] Pemahaman hanya bisa dihasilkan dengan cinta, bukan dengan pelatihan melalui cara-cara terorganisir.
Jalaludin ar-Rumi dipandang sebagai sufi yang menganut aliran kesatuan wujud (wahdat al-wujud). Sebagaimana sufi-sufi sebelumnya yang sealiran, pahamnya ini didasari teori fana’ (sirna). Ajaran-ajaran Rumi selalu mengacu pa Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan ajaran-ajaran kaum sufi terdahulu. Pesan-pesan Rumi bersifat universal, dan dia sangat liberal dalam menggunakan tamsilan-tamsilan yang diambil dari sumber-sumber yang tidak asing bagi setiap orang. Tema universal yang terkandung dalam karya-karyanya, membuat Rumi mendapat temapt khusus di hati masyarakat dunia. Tidak hanya bagi pemeluk Islam, tetapi juga pemeluk agama Nasrani, Yahudi dan Zoroaster. Menurutnya, semua insan di dunia dipandang adil dan sama.

D.    Manifestasi Cinta
F.C. Happold (1960) memasukkan Rumi sebagai tokoh terkemuka mitisisme cinta dan persatuan mistik. Mistisme jenis ini berusaha membebaskan diri dari rasa terpisah dan kesebatangkaraan diri, melalui jalan persaruan dengan alam dan Tuhan, yang membawa rasa damai dan memberi kepuasan pada jiwa. Merasa sepi, mistikus cinta berusaha meninggalkan diri khayali atau ego rendah (nafs) dan pergi menuju Diri yang lebih agung, Diri sejati dan Hakiki. Menurut pandangan mistikus cinta, manusia adalah makhluk yang paling mampu menyadari individualitasnya. Tujuan mistisisme cinta ialah melakukan perjalanan rohani menuju Diri hakiki dan kebakaan, dimana ‘Yang Satu’ bersemayam. Rumi berpendapat bahwa seorang yang ingin memahami kehidupan dan asal-usul ketuhanan dari dirinya ia dapat melakukan melalui jalan cinta, tidak semata-mata melalui jalan pengetahuan. Cintalah sayap yang membuatnya dapat terbang tinggi menuju “Yang Satu”.[12] Cinta sejati, menurut Rumi, dapat membawa seseorang mengenal alam hakikat yang tersembunyi dalam bentuk-bentuk lahiriah kehidupan. Karena cinta dapat membawa kita menuju kebenaran tertinggi, Rumi berpendapat cintalah sebenarnya yang merupakan sarana terpenting dalam menstransendensikan dirinya.
Dalam salah satu syairnya sebagai berikut:
“Bagaimana keadaan sang pecinta?”
Tanya seorang laki-laki.
Kujawab, “Jangan bertanya seperti itu, sobat:
Bila engkau seperti aku, tentu engkau akan tahu;
Ketika Dia memanggilmu,
Engkau pun akan memanggil-Nya!” (D 2733)[13]

Bagaimana menerangkan cinta? Akal berusaha menjelaskannya adalah seperti keledai di dalam paya. Dan pena yang berusaha menggambarkannya akan hancur berkeping-keping. Cinta itu pra-abadi, Cinta itu magnet; sejurus lamanya Cinta benar-benar menyirnakan jiwa, kemudian ia pun menjadi perangkap yang menjerat burung-burung jiwa, yang kepada burung-jiwa inilah Cinta menawarkan minun anggur realitas, dan semua ini “hanyalah permulaan Cinta-tidak ada manusia yang dapat mencapai ujungnya!” Rumi sering berbincang-bincang dengan Cinta untuk mencari tahu bagaimana rupa Cinta itu. Salah satu syair pujian di mana Maulana mencoba menemukan apa Cinta itu, di mulai dengan pernyataan
Duhai Cinta, siapa yang bentuknya lebih indah,
            Engkau atau tanaman dan kebun apelmu? (D 2138)[14]

            Dan syair itu dilanjutkan dalam irama menari-nari, menuturkan tindakan-tindakan Cinta yang luar biasa, yang mendorong setiap atom dan pepohonan menari-nari, dan mengubah segalanya:
            Lewat Cintalah semua yang pahit akan jadi manis,
            Lewat Cintalah semua tembaga akan jadi emas.
            Lewat Cintalah semua endapan akan jadi anggur murni;
            Lewat Cintalah semua kesedihan akan jadi obat.
            Lewat Cintalah si mati akan jadi hidup,
            Lewat Cintalah raja jadi budak! (M II 1529f)[15]

Tanpa Cinta, dalam kehidupan tidak akan ada kebahagiaan karena “kehidupan akan menjadi hambar tanpa garam yang tiada batasnya itu”. Di dalam Diwan Syams Tabriz, sebagaimana tergambar dalam puisinya sebagai berikut:

Dalam suatu bentuk muncul keindahan sekejap
Ia pun lekat dalam kalbu dan terus lenyap
Dalam paket baru ‘sahabat’ itu muncul ditiap jiwa
Terkadang tua renta dan terkadang muda belia
Itulah ruh yang menyelam keberbagai makna
Ke jantung tanah liat ia mengaram
Lihatlah! Ia ke luar dari kebebasan tanah dalam
Dalam wujud ia ada
Terkadang muncul dalam bentuk Nuh maupun dunia
Bahkan karam lewat doanya
Sementara ia selamat lewat kepalanya
Terkadang muncul dalam bentuk Ibrahim, dalam api nyala
Jadi air demi dirinya
Lalu ia pun hadapkan wajahnya ke bumi beberapa lama
Agar yang dilihatnya dinikmati pemirsanya.[16]

            Dari liriknya di atas, tampak jelas bahwa Jalaluddin ar-Rumi adalah seorang penyair yang begitu diliputi perasaan cinta, yang menghantarkannya kepada ke-fana’-an (kesirnaan) ataupun menyaksikan kesatuan. Cinta, menurut Jalaluddin ar-Rumi, merupakan cahaya kehidupan dan nilai kemanusiaan. Sesungguhnya cinta itu kekal; jadi harus diberikan kepada yang kekal pula. Ia tidak pantas diberikan kepada yang ditakdirkan fana’. Sesungguhnya cinta itu mengalir dalam diri orang yang dilaluinya, seperti darah, jika cinta diletakkan pada tempatnya yang sesuai, ia laksana matahari yang tidak kunjung tenggelam; atau bagaikan bunga indah yang tak kunjung layu. Oleh karena itu carilah cinta suci yang abadi, cinta yang akan memusnahkan segala sesuatu, yang mampu menyegarkan rasa dahagamu.
            Rumi menggunakan ungkapan Arab dan Persia, kadang-kadang juga menggunakan ungkapan Turki dan Yunani, untuk mengungkapkan perasaannya. Dia pun tahu bahwa keindahan Cinta tidak dapat diungkapkan dengan cara apa pun, “Meskipun aku memujinya dengan seratus lidah”. Sebab, dia tahu, seperti Tuhan, Cinta itu nyata dan sekaligus yang gaib. Pecinta dapat “berkelana dalam Cinta” dan semakin jauh pecinta melangkah, semakin besar kebahagiaan yang diperolehnya karena Cinta itu tak terbatas, Ilahiah, dan lebih besar disbanding seribu kebangkitan: kebangkitan itu merupakan suatu batas, sedangkan Cinta tak terbatas.seperti dikatakan kaum sufi dan filosof, Cinta itu adalah alasan setiap gerakan di dunia ini.
            Menapaki jalan sufi berarti harus menaati semua perintah dan larangan Tuhan. Manakala seseorang telah memasuki thariqat, ia akan mengalami transformasi batin yang membawanya pada penyempurnaan rohani, melalui pendakian. Dia akan mendaki tebing-tebing curam, menanjak menuju langit, bahkan ke seberang langit. Pendakian Thariqah akan mengubah tembaga menjadi emas murni, bahkan mutiara. Untuk sampai pada tingkat hakikat (“pencapaian jalan Tuhan”) tidaklah mudah. Ketiga dimensi ajaran sufi (syariat, thariqah, dan hakikat) harus diintegrasikan ke dalam pengalaman rohani dari perjalanan yang sedang ditempuh oleh sufi.[17] Semua itu sangat terkait dengan akhlak yang dimiliki sufi. Sebagian besar syairnya dalam Diwan menyiratkan semua itu, yang dapat dipandang sebagai pengungkapan keadaan serta pengalaman-pengalaman spiritual yang khas.
            Pandangan sufi bahwa cinta merupakan rahasia ketuhanan dan hakikat ketuhanan ialah perbendaharaan tersembunyi. Rumi menafsirkan perbendaharaan tersembunyi sebagai perbendaharaan hikmah-Nya yang abadi, yang ingin dipandang, direnungi, dipikirkan dan dikenal.[18] Pecinta ingin dikenal cintanya, perindu ingin diketahui rindunya, pencari ingin dikenal bahwa ia mencari; sedang Tuhan dan perbendaharaan dari cinta dan hikmah pada mereka yang mau menerima petunjuk-Nya. Melalui pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan yang ingin dicapai para sufi melalui jalan cinta ialah mengenal Tuhan sebagai Wujud Hakiki yang meliputi semua wujud. Inilah yang disebut ma’rifah. Akan tetapi, mengenal saja tidak cukup. Yang lebih penting lagi adalah merasakan kehadiran-Nya dalam segala sesuatu, dalam segenap peristiwa, dalam kehidupan pribadi, dengan maksud dapat merealisasikan persatuan dengan-Nya dalam semua aspek kehidupan. 
            Mengenai keadaan jiwa seorang yang sedang menempuh jalan cinta, Rumi mengatakan dalam Divan-I Syamsi Tabrizi, kurang lebih sebagai berikut:
            “Kali ini seluruh diriku telah diselubungi cinta
            Kali ini seluruh diriku bebas dari kepentingan dunia
            Setiap berhala dari empat anasir tubuh telah kululuhkan
            Sekali lagi aku telah menjadi muslim, sabuk kekafiran kulepaskan
Sesaat aku berputar mengedari Sembilan angkasa raya
Kukitari planet dan bintang-bintang mengikuti sumbunya
Sesaat aku gaib di suatu tempat rahasia aku berada bersama-Nya
Aku dekat ke kampung halamnnya, kusaksikan segala yang harus disaksikan.”[19]

Rumi menyatakan bahwa yang ia saksikan ialah keadaan sebelum hari penciptaan berlangsung, yaitu ketika “Yang Satu” sebagai Dzat Mutlak belum menyatakan diri dan jiwa manusia masih bersatu dengan-Nya, yaitu ketika masih berada di dalam perbendaharaan yang tersembunyi. Jadi, tempat rahasia itu, bahwa jiwa manusia dapat menyaksikan “Yang Satu” sebagai Wujud Hakiki dan rahasia penciptaan ialah di lubuk hati kita yang paling dalam. Rumi sependapat dengan Abu Yazid Al-Busthami, yang mengatakan bahwa apabila jiwa seorang sufi dirasuki cinta atau antusiasme Ketuhanan, hanya “Yang Satu” yang akan menjadi tumpuan perhatiannya. Selain-Nya akan lenyap dari penglihatan hatinya dan jiwanya tak akan membiarkan yang lain menapakkan jejak dalam kesadarannya. Dengan demikian, cinta ilahi juga berkaitan dengan kegairahan mistik, baik berupa wajd (ekstase mistik), dzawq (kemabukan mistik), dan junun (kepayang).  

           

E.     Kesimpulan
Jalaluddin Rumi nama lengkapnya adalah Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Dia dilahirkan di Balkh pada tahun 604 H/1217 M. dan meninggal pada tahun 672 H/ 1273 M. di Qunyah. Jalaluddin ini terkenal dengan nama Rumi karena ia tinggal di kota yang bernama Rum. Sehingga banyak orang yang mengenalnya dengan nama Rumi.
Karya-karya Rumi tentang tasawuf yang paling termasyhur adalah Diwan-I Syam At-Tabrizi dan al-Matsnawi. Dua karya ini sangatlah fenomenal. Namun, selain dua karya tersebut masih banyak karya Rumi yang tertuang dalam puisi, prosa dan sajak.
Rumi merupakan salah satu tokoh sufi yang terkenal dengan konsep cintanya kepada Tuhan. Di dalam kitabnya al-matsnawi ini merupakan gambaran keadaan yang tidak menunjukkan adanya kemabukkan kepada Tuhan. Namun, dalam kitabnya Diwan ini mengisyaratkan dengan sangat jelas adanya kemabukan dalam keadaan mistis. Karena dalam Diwan menceritakan kondisi Rumi yang ditinggal oleh Syam At-Tabrizi. Sehingga beliau menciptakan kitan Diwan ini.
Manifestasi cinta Rumi kepada Allah itu salah satunya ditunjukkan dalam sebuah prosa, puisi dan sajak. Tidak hanyya itu, manifestasinya yaitu dengan melakukan tarian darwis atau sering disebut dengan Sama’. Dalam karyanya itu Rumi banyak mengungkap tentang pengalaman spiritualnya dalam menapaki jalan menuju Sang Kekasih.

DAFTAR PUSTAKA

Isa, Haji Ahmad. Tokoh-Tokoh Sufi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001.

Solihin, M. Tokoh-Tokog Sufi Lintas Zaman. Bandung: Pustaka Setia, 2003.

Bayat, Mojdeh. Negeri Sufi. Terj. M.S. Nasrulloh (Jakarta: Lentera Basritama, 1999.

Nasution, Haji Ahmad Bangun. Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya. Jakarta: RajaWali Press, 2013.

Rifa’i, Bachrun. Filsafat Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010.

http://wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm, diakses tanggal 20 Mare 2015.

Shah, Idries. Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi. Terj. M. Hidayatullah dan Roudlon (Surabaya: Risalah Gusti, 2000.

Schimmel, Annemarie. Akulah Angin, Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi. Terj. Alwiyah Abdurrahman dan Ilyas Hasan (Bandung: MIzan Pustaka, 2008.



[1] Haji Ahmad Isa, Tokoh-tokoh Sufi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), 227.
[2] M. Solihin, Tokoh-Tokog Sufi Lintas Zaman (Bandung: Pustaka Setia, 2003), 164-165.
[3] Mojdeh Bayat, Negeri Sufi, Terj. M.S. Nasrulloh (Jakarta: Lentera Basritama, 1999), 151-152.
[4] Haji Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Jakarta: RajaWali Press, 2013), 148-149.
[5] Ibid., 153.
[6] Bayat, Negeri Sufi., 142.
[7] Bachrun Rifa’i, Filsafat Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 106.
[8] Nasution, Akhlak Tasawuf., 248.
[9] http://wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm, diakses tanggal 20 Maret 2015.
[10] Bayat, Negeri Sufi., 154.
[11] Idries Shah, Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi, terj. M. Hidayatullah dan Roudlon (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 157.
[12] Rifa’i, Filsafat Tasawuf., 107.
[13] Annemarie Schimmel, Akulah Angin, Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, terj. Alwiyah Abdurrahman dan Ilyas Hasan (Bandung: MIzan Pustaka, 2008), 237.
[14] Ibid., 239.
[15] Ibid., 240.
[16] Isa, Tokoh-Tokoh Sufi., 229-230.
[17] Solihin, Tokoh-Tokog Sufi., 168.
[18] Rifa’i, Filsafat Tasawuf., 108.
[19] Rifa’i, Filsafat Tasawuf., 109.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar