Senin, 28 Desember 2015

terapi tawakal



TERAPI TAWAKAL IBNU QAYYIM AL-JAUZI
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah :
“Psikoterapi”
Dosen Pengampu :
Nur Aziz Afandi, M,Psi





Di susun oleh :
Mochammad Asom                 (933 610 713)
Nikmatur Rohmah                  (933 611 013)
Siti Naylurrohmah                   (933 611 213)
Nur Izzah I.B.                         (933 600 113)


PRODI AKHLAK TASAWUF
JURUSAN USHULUDDIN DAN ILMU SOSIAL
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
201
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Tawakal merupakan salah satu cabang iman yang pokok dan menempati kedudukan tertinggi yang diraih oleh para rabbani. Al-Qur’an senantiasa mendorong pelakunya dengan berbagai macam cara serta bentuk yang beragam. Demikian juga dalam Hadits, dimana Rasulullah menjadi figure atau tauladan yang selalu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya.
Inti dari tawakal sejatinya ialah seni mengolah jiwa agar selalu terpaut dengan Tuhan, dimanapun, kapanpun, dan dalam kondisi apapun, saat senang maupun susah, ketika berhasil ataupun gagal, dan ketika menang ataupun kalah. Tujuannya ialah agar emosi kita stabil, iman bertambah, dan keyakinan semakin lurus dan istiqomah.
Menyadari keberhasilan yang diraih, keuntungan yang di dapat, atau kemenangan yang diperoleh, terjadi hanya keran Allah SWT. Bukan berkat kecerdasan otak dan kegeniusan pikiran kita sendiri. Kenyataan inilah yang jarang disadari oelh manusia. Akibatnya, banyak orang yang terjebak didalamnya, bahkan terjerumus kedalam perbuatan maksiat ketika mereka meraih kemenangan atau keuntungan. Sebaliknya, banyak orang terpuruk dalam kekalahan atau kerugian lalu kehilangan akal sehatnya.
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana biografi dari Ibnu Qayyim Al-Jauzi?
2.      Apakah setiap penyakit ada obatnya?
3.      Bagaimana Hakikat Penyakit Hati?
4.      Bagaimana tanda-tanda hati?
5.      Bagaimana terapi dan pengobatanmenurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah?





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Ibnu Qayyim AL-Jauzi[1]
Nama lengkapnya adalah Imam Abdurrahman bin Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Abdullah Al-Qurasyi. Ia dikenal dengan nama kakeknya Ibnul Jauzi di Jauzah, yang rumahnya terletak di tengah-tengah daerah ini. Ibnul Jauzi dilahirkan pada tahun 510 H. Ayahnya meninggal pada saat ia berumur tiga tahun kemudian diasuh dan dididik oleh bibinya.
Ketika ia menginjak dewasa, bibinya membawanya kepada Hafidz Ibnu Nashir. Ibnu Nashir sangat memperhatikannya dan banyak memberikan ilmu kepadanya, sehingga ia berhasil mencapai pengetahuan dalam memberikan nasehat pada pencapaian yang belum pernah diraih oleh orang lain sebelumnya, sehingga dikatakan bahwa beberapa perkumpulannya (majelis) dihadiri oleh sekitar seratus ribu orang.
Ibnul Jauzi menulis 2.000 jilid buku dengan tulisan tangannya; kemudian orang yang bertaubat di tangannya mencapai 100.000; dan orang yang masuk Islam di tangannya mencapai 20.000.
Dalam satu minggu, ia menyelesaikan satu pekerjaan menamatkan satu kali bacaan Al-Qur’an dan tidak pernah keluar untuk pergi ke masjid atau majelis. Karya-karyanya yang terkenal mencapai lebih dari 250 buah.
Ibnul Jauzi berpenampilan lembut, memiliki perangai yang manis, suara merdu, gaya dan suara yang serasi, tidak ada sesuatupun yang hilang dari zamannya.  Dan ia menulis empat buku setiap hari.
Ia memiliki peran dan pengetahuan dalam setiap cabang ilmu, tetapi dalam bidang tafsir ia adalah salah seorang tokohnya, dalam bilang hadis sebagai penghafal, dan dalam bidang sejarah sebagai salah seorang yang memperluas cakupannya. Ia juga mempunyai sebuah buku di dalam ilmu kedokteran yang berjudul Kitaab Al-Luqath.
Ibnul Jauzi meninggal dunia pada tahun 597 H pada saat usianya mendekati 90 tahun, dan dikubur di Pekuburan Bab Harb.
Di antara karya-karyanya yang terkenal :
1.      Al-Mughni fii At-Tafsiir.
2.      Zaad Al-Masiir fii At-Tafsiir.
3.      Tafsir Al-Bayaan fi Tafsiir Al-Qur’an.
4.      Tadzkirah Al-Ariib fi Tafsiir Al-Ghariib.
5.      Ghariib Al-Ghariib.
6.      Minhaaj Al-Wushuul ila ‘Ilm Al-Ushuul.
7.      Muntaqid Al-Mu’taqid.
8.      Jaami’ Al-Masaaniid bi Al-Khash Al-Asaaniid.
9.      Al-‘Illal Al-Mutanaahiyah fi Al-Ahaadiits Al-Waahiyah.
10.  Shifah Ash-Shahwah. Dan lain sebagainya.

B.     Setiap penyakit Ada Obatnya[2]
Telah tercatat dalam shahih bukhari sebuah hadits yang diriwayatkan dari abu hurairah ra, dimana disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda , “Tidaklah Allah menurunkan satu penyakit pun kecuali Dia telah menurunkan baginya obat”.
Sementara itu, dalam shahih bukhari muslim tercantum hadits Nabi yang diriwayatkan dari Jabir Ibn Abdillah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat atas penyakit itu tepat (sesuai) maka penyakit tersebut akan hilang dengan izin Allah”.
Sedangkan dalam musnad imam terdapat hadits yang diriwayatkan dari usamah ibn syuraik bahwa nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali telah menurunkan pula untuknya penyembuh. Orang yang tahu akan bodoh tidak akan memahami (tidak sanggup menyembuhkannya)”.
Dalam riwayat lain dikatakan, “Sesungguhnya Allah menimpakan suatu penyakit kecuali disertakan pula penyembuhnya atau obatnya, kecuali satu penyakit.”
Para sahabat bertanta, “Ya Rasulallah, Apa itu?
Rasulallah menjawab, “Penyakit tua”.
Menurt imam tirmidzi hadits tersebut shahih.
Bertanya : obat kebodohan
Bertanya adalah obat bagi penyakit hati, mental, dan jasad. Nabi SAW telah menetapkan bahwa kebodohan adalah penyakit, sementara obatnya ialah bertanya kepada para ulama.
Imam abu dawud telah meriwayatkan dalam sunan-nya hadits  dari jabir ibn ‘Abdillah, ia bertutur demikian :
“Kami keluar rumah untuk bepergian. Tiba-tiba salah seorang diantara kami tertimpuk batu sehingga terluka kepalanya, kemudian dia mimpi jimak. Ia lalu bertanya kepada sahabat-sahabatnya, “Apakah kalian menemukan rukhshah (keringanan) untukkku untuk melakukan tayamum?”
Mereka menjawab “kami tidak mendapati dalil rukhshah untukmu. Engkau masih mampu untuk mandi.”
Kemudian ia mandi, tetapi setelah itu ia meninggal. Ketika kejadian ini kami khabarkan kepada nabi saw, beliau mengatakan “mereka telah membunuhnya. Semoga Allah membinasakan mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika mereka memang tidak tahu? Sesungguhnya obat  ketidak tahuan adalah bertanya. Sesungguhnya bagi sahabat (yang meninggal itu)  cukup melakukan tayamum dengan mengusap perban yang menutupi lukanya, sementara sebagian anggota badannya yang lain disiram dengan air.”
Jadi, nabi memberitahukan bahwa ketidaktahuan (kebodohan) adalah penyakit dan obatnya adalah bertanya kepada para Ulama.
C.    Hakikat Penyakit Hati
Sesungguhnya segala kemaksiatan terhadap Allah dan penyimpangan dari ajaranNya akan menyebabkan hati seorang hamba menjadi kotor. Jika hal tersebut dibiarkan, tidak dibersihkan dan tidak diobati maka kotoran dan penyakit itu akan bertumpuk sehingga menutupi hati tersebut. Rasulullah bersabda :
 “Sesungguhnya seorang hamba, jika melakukan suatu kesalahan (dosa), maka dituliskan titik hitam pada hatinya. Jika dia berhenti (dari kesalahan itu), meminta ampunan dan bertaubat, niscaya hatinya kembali bersih. Namun jika dia kembali (melakukan dosa), maka titik hitam itu akan ditambah sehingga menutupi hati. Itulah ‘ron’ (tutupan) yang Allah sebutkan dalam firmanNya, ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.’ (al-Muthaffifin:14)”.
Akan tetapi, hakikat dari seluruh kemaksiatan dan penyimpangan atau dengan kata lain hakikat seluruhnya penyakit hati seorang hamba berpulang kepada penyakit syubhat dan syahwat. 
Syekh Abdurrohman bin Nashir r.a berkata : “Dan sisi pembatasan penyakit (hati) itu dibagi menjadi dua jenis penyakit (syubhat dan syahwat) ialah karena penyakit hati merupakan lawan dari kesehatan hati. Sedangkan kesehatan hati yang sempurna terwujud dengan dua hal. Pertama, dengan kesempurnaan ilmu, pengetahuan dan keyakinannya. Kedua, dengan kesempurnaan iradah (kehendak) hati terhadap apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah.
Maka hati yang sehat ialah yang mengenal kebenaran dan mengikutinya, mengenal kebatilan dan meninggalkannya. Apabila olmunya merupakan keragu-raguan, dan hati itu memiliki syubhat yang bertentangan dengan pokok-pokok dan cabang agama yang Allah beritakan, maka ilmunya itu menyimpang. Kuat lemahnya penyakit hati itu sesuai dengan keragu-raguan dan syubhat.
Dijelaskan dalam AL-Qur’an  bahwa ada beberapa jenis penyakit syubhat, yaitu yang tertera dalam QS. Al-Baqarah : 10, QS. At-Taubah : 125, dan dalam surah lainnya.
Adapun tentang penyakit syahwat, seperti yang Allah sebutkan dalam surat al-Ahzab ayat 32.[11]
D.    Tanda-Tanda Penyakit Hati
Penyakit hati bersifat samar bahkan tidak diketahui pemiliknya. Karena itulah ia dilalaikan. Dokter hati adalah ulama, dan kini mereka telah tergeroroti oleh penyakit, dan seorang dokter yang sakit sangat jarang untuk mau mengobati orang lain.
Hati haarus bersih dari segala penyakit agar dia tidak mempunyai keterkaitan dengan apapun di ndunia. Sehingga jiwa meninggalkan dunia dalam kondisi tidak mempunyai hubungan dengannya, tidak menoleh kepadanya, serta tidak merindukan kemewah-mewahannya, saat itulah dia kembali kepada Tuhannya sebagai jiwa yang tenang.
Orang yang ingin mengetahui aib dirinya mempunyai 4cara yang bias ditempuhnya, yaitu sbb:
1.      Duduk didepan syekh yang sangat lihai dalam mengetahui aib jiwa yang memberitahu aibnya dan cara menyembuhkannya.( namun zaman sekarang langka).
2.      Mencari teman yang cerdas, jujur, dan memegang teguh agamanya lalu mengangkatnya menjadi pengawas atas dirinya untuk mengingatkannya pada akhlak yang tercela.
3.      Mengetahui aib lewat mulut musuh, karena mata yang benci akan memperklihatkan keburukan.
4.      Bergaul dengan orang banyak.

E.     Terapi atau Pengobatan[3]
Adapun terapi atau pengobatan yang ditawarkan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Bila seluruh untuk menangani berbagai penyakit qalbu ialah dengan :
1.      Memaksakan dirinya selalu mendekatkan diri kepada Allah dimanapun berada. Bila seluruh hidupnya sudah diarahkan pada Allah, maka qolbunya akan selalu mengajak dan mendorong pemiliknya untuk menemukan ketenangan dan ketentraman bersama Allah. Sehingga tatkala itulah ruh benar-benar merasakan kehidupan, kenikmatan dan menjadikan hidup lain daripada yang lain. Bukan kehidupan yang penuh kelalaian dan berpaling dari tujuan pencipta manusia.
2.      Tidak bosan untuk berdzikir. Diantara sebagian tanda sehatnya qalbu ialah tidak pernah bosan untuk untuk berdzikir mengingat Allah. Tidak pernah merasa jemu untuk mengabdi kepada-Nya, tidak terlena dan asyik dengan selain Allah , kecuali kepada orang yang menunjukkan ke jalan-Nya, orang yang mengingatkan dia kepada Allah atau saling mengingatkan dalam berdzikir kepada-Nya.
3.      Menyesali jika luput dari berdzikir. Tanda-tanda qalbu yang sehat diantaranya adalah jika luput dan ketinggalan dari dzikir dan wirid maka dia sangat menyesal, merasa sedih dan salah. Melebihi sedihnya seorang yang bakhil yang kehilangan hartanya.
4.      Rindu beribadah. Qalbu yang sehat selalu rindu untuk menghamba dan mengabdi kepada Allah, sebagaimana rindunya seorang yang kelaparan terhadap makanan dan minuman.
5.      Khusyu’ dalam shalat. Qalbu yang sehat adalah jika ia sedang melakukan shalat, maka ia tinggalkan segala keinginan dan sesuatu yang bersifat keduniaan. Sangat memperhatikan masalah shalat dan bersegera melakukannya, serta mendapati ketenangan dan kenikmatan di dalam shalatnya tersebut. Baginya shalat merupakan kebahagiaan dan penyejuk hati dan jiwa.
6.      Selalu intropeksi dan memperbaiki diri. Qalbu yang sehat ialah senantiasa menaruh perhatian terhadap amal itu sendiri. Dia terus bersemangat untuk meningkatkan keikhlasan dalam beramal, mengharap nasihat, mutaba’ah (mengontrol) dan ihsan (seakan-akan melihat Allah) dalam beribadah, atau selalu merasa (dilihat oleh Allah). Bersamaan dengan itu dia selalu memperhatikan pemberian dan nikmat dari Allah serta kekurangan dirinya di dalam memenuhi hak-hak-Nya.
Makna Tawakal
Menurut Al-Harawi dalam Manazilu al-Sa’irin, tawakal merupakan tingkatan spiritual yang sulit dicapai oleh orang awam, akan tetapi mudah diraih oleh insan pilihan. Tawakal ialah menyerahkan urusan kepada yang berkuasa menanganinya dengan kepercayaan utuh, maksudnya disini menyerahkan seluruh perkara kepada Allah, bersandar pada kekuasaanNya dalam mengatur siklus alam semesta, mendahulukan perbuatanNya daripada diatas keinginan kita.[4]
Apakah Seorang mutawakil perlu berobat atau melakukan terapi untuk menyembuhkan penyakitnya? Ada tiga jawaban :
Pertama, ada petunjuk bahwa Allah SWT tidak menganjurkan berobat dengan sejumlah terapi. Hal tersebut terangkum dalam sabda Rasulullah SAW bahwa ada 70.000 orang umatnya yang masuk surge tanpa dihisab. Mereka adalah orang yang tidak meramal nasib, tidak mempercayai jampi, tidak berobat dengan sundutan api, dan bertawakal kepada Allah.
Kedua, dilain waktu Rasulullah memperbolehkan kita berobat dengan meminum obat, meminum air yang di doani, atau membaca doa. Beliau sendiri juga pernah membekam Ubai bin Kaab untuk menyembuhkan penyakitnya.
Ketiga, jenis terapi selain yang dilarang dan pernah dicontohkan Rasulullah SAW hukumnya mubah. Terapi itu boleh dijalani selama tidak mengurangi tawakal dan tidak menimbulkan keyakinan bahwa terapi itulah yang menyembuhkan bukan Allah.
Oleh sebab itu, bertawakal dan bersandarlah kepada Allah semata. Yakni bahwa hanya  Allahyang berkuasa memenuhi segala harapan, bukan yang lain. Sekeras apapun kita berusaha, jika Allah belum menghendaki, kita pasti tidak akan mendapatkan apa-apa. Sebab, hanya Allah yang dapat mencukupi, mengabulkan permohonan, dan mewujudkan keinginan hambaNya.




















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Imam Abdurrahman bin Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Abdullah Al-Qurasyi. Ia dikenal dengan nama kakeknya Ibnul Jauzi di Jauzah, yang rumahnya terletak di tengah-tengah daerah ini. Ibnul Jauzi dilahirkan pada tahun 510 H. kemudian Ibnul Jauzi meninggal dunia pada tahun 597 H pada saat usianya mendekati 90 tahun, dan dikubur di Pekuburan Bab Harb.
Dalam shahih bukhari muslim tercantum hadits Nabi yang diriwayatkan dari Jabir Ibn Abdillah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat atas penyakit itu tepat (sesuai) maka penyakit tersebut akan hilang dengan izin Allah”.
Hakikat dari seluruh kemaksiatan dan penyimpangan atau dengan kata lain hakikat seluruhnya penyakit hati seorang hamba berpulang kepada penyakit syubhat dan syahwat. Syekh Abdurrohman bin Nashir r.a berkata : “Dan sisi pembatasan penyakit (hati) itu dibagi menjadi dua jenis penyakit (syubhat dan syahwat) ialah karena penyakit hati merupakan lawan dari kesehatan hati. Sedangkan kesehatan hati yang sempurna terwujud dengan dua hal. Pertama, dengan kesempurnaan ilmu, pengetahuan dan keyakinannya. Kedua, dengan kesempurnaan iradah (kehendak) hati terhadap apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah.
Penyakit hati bersifat samar bahkan tidak diketahui pemiliknya. Karena itulah ia dilalaikan. Dokter hati adalah ulama, dan kini mereka telah tergeroroti oleh penyakit, dan seorang dokter yang sakit sangat jarang untuk mau mengobati orang lain.
Adapun terapi atau pengobatan yang ditawarkan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Bila seluruh untuk menangani berbagai penyakit qalbu ialah memaksakan dirinya selalu mendekatkan diri kepada Allah dimanapun berada, tidak bosan untuk berdzikir, menyesali jika luput dari berdzikir, rindu beribadah, khusyu’ dalam shalat, dan selalu intropeksi dan memperbaiki diri.



DAFTAR PUSTAKA
Ø  Jauzi, S.Ibnul. Cerminan JiwaTerj.Amir Hamzah.Jakarta :Pustaka Azzam, 2000.
Ø  Al-Jauzi, Ibn Qayyim.Siraman Rohani
Ø  Mas’ud, Ali. Akhlak Tasawuf. Sidoarjo : Dwiputra Pustaka Jaya, 2012.
Ø  Al-Jauzi, Ibnu Qayyim, AL-Maki, Abu Thalib, dkk.Terapi Tawakal Oleh 10 Ulama Klasik Psikologi. Ahsan Books : 2011.




[1] S.Ibnul Jauzi,Cerminan JiwaTerj.Amir Hamzah(Jakarta :Pustaka Azzam, 2000)
[2]Ibn Qayyim Al-Jauzi, Siraman Rohani
[3]Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf(Sidoarjo : Dwiputra Pustaka Jaya, 2012)
[4] Ibnu Qayyim Al-Jauzi, Abu Thalib Al-Maki, dkk, Terapi Tawakal Oleh 10 Ulama Klasik Psikologi(Ahsan Books : 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar